Kamis, 08 November 2018

MAKALAH TENTANG TUNANETRA



Kehilangan penglihatan menyebabkan anak tunanetra sulit dalam melakukan mobilitas, artinya sulit untuk bergerak dari satu tempat ketempat lainnya yang diinginkan . Oleh karena itu, perlu diberikan suatu keterampilan khusus , agar dapat melakukan mobilitas dengan cepat , tepat dan aman.
Adanya keterbatasaan tersebut diatas, menghambat anak tunanetra dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena selain membutuhkan layanan pendidikan umum sebagai mana halnya anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya.  




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  LATAR BELAKANG MASALAH
Banyak kasus yang terjadi berkenaan dengan keberadaan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah umum, termasuk di Sekolah Dasar (SD) yang perlu mendapatkan perhatian dan layanan pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Sebagai salah satu contoh, kasus yang dialami oleh Bunga, seorang anak perempuan berusia 9 tahun dan sedang menempuh pendidikan SD kelas III.
Di sekolah, Bunga termasuk dalam siswa perempuan yang unik dibandingkan dengan teman-temannya dikelas. Bunga  paling tidak suka jika guru meminta untuk menyalin kembali catatan yang ditulis dipapan, dia sering mengernyitkan dahi setiap kali harus menyalin tulisan tersebut. Bunga lebih suka jika guru memberikan catatan dengan cara dekte. Hal tersebut berulang kali terjadi ketika pembelajaran sedang berlangsung. Setelah ditanya alasannya, ternyata bunga mengatakan bahwa dia merasa tidak dapat melihat dengan jelas ketika harus menyalin catatan dari papan tulis, terlebih lagi apabila dia duduk di bangku paling belakang.
Contoh kasus yang dialami Bunga , dapat dikategorikan dalam tunanetra ringan (low vision), yaitu tunanetra yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatan sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa penglihatannya itu untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Untuk itu, layanan pendidikan untuk tunanetra di SD biasa haruslah maksimal. Perlu adanya pemahaman dan kreativitas seorang guru di sekolah dalam mengembangkan berbagai model pembelajaran sesuai kebutuhan anak. Apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai cara memberikan layanan yang baik, maka ABK akan terlayani secara maksimal.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan kondisi di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah penyandang tunanetra dapat terlayani secara maksimal di SD biasa?”

1.3 TUJUAN
Untuk mengetahui apakah penyandang tunanetra dapat terlayani secara maksimal di SD biasa.



BAB II
LANDASAN TEORI

A.   Pengertian Tunanetra
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat awam khususnya sering menganggap bahwa istilah tunanetra sering disamakan dengan buta. Pandangan masyarakat tersebut didasarkan pada suatu pemikiran yang umum yaitu bahwa setiap tunanetra tidak dapat melihat sama sekali.
Secara etimologis, kata tuna berarti luka, rusak, kurang atau tiada memiliki;  netra berarti mata atau penglihatan. Jadi tunanetra berarti kondisi luka atau rusaknya mata, sehingga mengakibatkan kurang atau tidak memiliki kemampuan persepsi penglihatan. Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan bahwa istilah tunanetra mengandung arti rusaknya penglihatan . Menurut beberapa ahli, pengertian tunanetra adalah:
1.      Frans Harsana Sasraningrat mengatakan bahwa tunanetra ialah suatu kondisi dari indera penglihatan atau mata yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi itu disebabkan oleh karena kerusakan pada mata, syaraf optik dan atau bagian otak yang mengolah stimulus visual .
2.      Irham Hosni menegaskan bahwa seseorang dikatakan tunanetra adalah orang yang kedua penglihatannya mengalami kelainan sedemikian rupa dan setelah dikoreksi mengalami kesukaran dalam menggunakan matanya sebagai saluran utama dalam menerima informasi dari lingkungannya.
3.      Drs. Nurkholis menyatakan bahwa tunanetra adalah kerusakan atau cacat mata yang mengakibatkan seseorang tidak dapat melihat atau buta.
4.      Persatuan Tunanetra Indonesia/Pertuni mendifinisikan ketunanetraan sebagai berikut : Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kacamata (kurang awas). Yang dimaksud dengan 12 point adalah ukuran huruf standar pada komputer di mana pada bidang selebar satu inch memuat 12 buah huruf . Akan tetapi, ini tidak boleh diartikan bahwa huruf dengan ukuran 18 point, misalnya pada bidang selebar 1 inch memuat 18 huruf.

B.   Klasifikasi anak Tunanetra
Anak tunanetra adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau gangguan fungsi penglihatan, yang memiliki tingkatan atau klasifikasi yang berbeda-beda. secara pedagogis membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajarnya di sekolah. Berdasarkan tingkatannya, dapat diklasifikasi sebagai berikut:
1.    Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
Seseorang yang dikatakan penglihatannya normal, apabila hasil tes Snellen menunjukkan ketajaman penglihatannya 20/20 atau 6/6 meter. Klasifikasi Tunanetra (visual impairment) berdasarkan kemampuan daya penglihatan .Penglihatan yang normal memiliki ketajaman penglihatan  6/6 - 6/7,5 yaitu jika sesorang dapat melihat benda dengan jelas pada jarak antara 6 sampai dengan 7,5 meter atau efisiensi penglihatan sebesar 95% - 100%. Penglihatan dengan ketajaman 6/9 - 6/21 masih tergolong kepada penglihatan hampir normal yaitu jika orang normal dapat melihat benda dengan jelas sejauh 9 sampai dengan 21 meter maka perbandingannya dengan orang dengan penglihatan hampir normal adalah sejauh 6 meter atau efisiensi penglihatan sebesar 75% - 90%. Maka klasifikasi Tunanetra (visual impairment) berdasarkan kemempuan daya penglihatan adalah sebagai berikut :
a.    Low Vision; yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan. Low Vision dikelompokkan menjadi :
1)    Low Vision sedang, memiliki ciri-ciri:
-     Masih mungkin orientasi dan mobilitas umum.
-     Mendapat kesukaran berlalu lintas dan melihat nomor mobil.
-     Membaca perlu memakai lensa kuat dan membaca menjadi lambat.
2)    Low Vision nyata, memiliki ciri-ciri:
-     Gangguan masalah orientasi dan mobilitas.
-     Perlu tongkat putih untuk berjalan.
-     Umumnya memerlukan sarana baca dengan huruf Braille, radio dan pustaka kaset.
b.    Tunanetra setengah berat/hampir buta (partially sighted),yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal, memiliki ciri-ciri:
-     Penglihatan menghitung jari kurang empat kaki.
-     Penglihatan tidak bermanfaat bagi orientasi mobilitas.
-     Harus memakai alat non visual.
c.    Tunanetra berat/buta total (totally blind), yakni mereka yang sama sekali tidak melihat,memiliki ciri-ciri:
-       Tidak mengenal adanya rangsangan sinar.
-       Seluruhnya tergantung pada alat indera selain mata.
2.    Berdasarkan Adaptasi Pedagogis
Kirk, SA (1989) mengklasifikasikan penyandang tunanetra berdasarkan kemampuan penyesuaiannya dalam pemberian layanan pendidikan khusus yang diperlukan. Klasifikasi dimaksud adalah:
a.      Kemampuan melihat sedang (moderate visual disability). Dimana pada taraf ini mereka masih dapat melaksanakan tugas-tugas visual yang dilakukan orang awas dengan menggunakan alat bantu khusus serta dengan bantuan cahaya yang cukup.
b.      Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability). Pada taraf ini, mereka memiliki penglihatan yang kurang baik, atau kurang akurat meskipun dengan menggunakan alat Bantu visual dan modifikasi, sehingga mereka membutuhkan banyak dan tenaga dalam mengerjakan tugas-tugas visual.
c.      Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability). Pada taraf ini mereka mengalami kesulitan dalam melakukan tugas-tugas visual, dan tidak dapat melakukan tugas-tugas visual yang lebih detail seperti membaca dan menulis. Untuk itu mereka sudah tidak dapat memanfaatkan penglihatannya dalam pendidikan, dan mengandalkan indra perabaan dan pendengaran dalam menempuh pendidikan.
3.    Berdasarkan Waktu Terjadinya Ketunanetraan
Menurut Lowenfeld, (1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :
a.   Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
b.   Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
c.   Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
d.   Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
e.   Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
f.    Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)
4.    Berdasarkan kelainan-kelainan yang terjadi pada mata
Menurut Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan yang terjadi pada mata, yaitu :
Kelainan ini disebabkan karena adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain:
a.   Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.
b.   Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif.
c.   Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris

C.   Karakteristik anak Tunanetra
Beberapa karakteristik anak-anak tunanetra adalah:
a.    Segi Fisik
Secara fisik anak-anak tunanetra, nampak sekali adanya kelainan pada organ penglihatan/mata
b.    Segi Motorik
Hilangnya pengalaman visual menyebabkan tunanetra kurang mampu melakukan orientasi lingkungan. Sehingga tidak seperti anak-anak normal, anak tunanetra harus belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.
c.    Perilaku
Anak tunanetra sering menunjukkan perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak semestinya misalnya, sering menekan matanya, membuat suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau berputar-putar.
d.    Akademik
 Keadaan ketunanetraan berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Tunanetra mempergunakan berbagai alternatif media atau alat untuk membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin mempergunakan huruf braille atau huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran. Dengan asesmen dan pembelajaran yang sesuai, tunanetra dapat mengembangkan kemampuan membaca dan menulisnya seperti teman-teman lainnya yang dapat melihat.
e.    Pribadi dan Sosial
Mengingat tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, maka anak tunananetra sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar.

D.   Identifikasi  anak Tunanetra
Peralatan/ Instrumen dan perlengkapan identifikasi dan asesmen anak tunanetra. Pada waktu melaksanakan identifikasi dan asesmen terhadap anak tunanetra, diperlukan berbagai jenis peralatan/ instrumen dan perlengkapan, antara lain adalah :
a.    Alat-alat tes misalnya, kartu snellen, tes funnel, tes kartu gambar allen, dll
b.    Perlengkapan tes, misalnya : senter, lampu, macam-macam lensa, ruangan dan segala perabotan yang dibutuhkan.
c.    Pedoman observasi dan wawancara
d.    Daftar pertanyaan
e.    Instrumen perekam data, kertas, alat tulis, kamera, komputer, dll.
Dalam melakukan identifikasi dan asesmen terhadap anak tunanetra perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a.    Sambutlah anak tunanetra dan adakan kontak fisik yang sesuai dengan kondisi dan usia anak.
b.    Gambarkan keadaan ruangan, jika anak belum pernah mengenal
c.    Bimbinglah anak ke meja dan kursi yang akan digunakan untuk melakukan asesmen
d.    Posisikan anak untuk menjaga kenyamanan
e.    Berikan tambahan waktu untuk kontak termasuk stimulasi bagi anak yang kurang responsif
f.     Jelaskan apa yang akan diperbuat
g.    Bantu anak melalui tuntunan tugas agar anak dapat segera memahami.
h.    Sediakan petunjuk verbal dan tactual untuk menirukan tindakan badan pada waktu diasesmen
i.      Berikan tambahan suara dalam tugas-tugas tersebut
j.      Pada kesimpulan asesmen ucapkan terima  kasih pada anak tersebut, dan berikan pesan.

E.    Asesmen anak Tunanetra
Istilah asesmen dapat diartikan sebagai proses mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan belajar siswa sebagai dasar agar pengajaran yang diberikan tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Tujuan dari dilaksanakannya asesmen yaitu :
1.    Agar guru mendapat informasi tentang keberhasilan dan kegagalan mengajar serta kemajuan dan kesulitan belajar siswa.
2.    Agar guru dapat memiih dan menentukan program, evaluasi dan strategi belajar mengajar, serta pengaturan lingkungan belajar.
3.    Agar guru dapat melakukan diagnosis dan memberikan tindak lanjut pengajaran.
Komponen yang dapat dilakukan asesmen pada anak tunanetra meliputi beberapa hal dari fungsi penglihatan hingga ketrampilan tertentu yang berkaitan dengan dampak kerusakan penglihatan antara lain :
1.    Penglihatan meliputi pemeriksaan kesehatan oleh omtalmolog atau optometris, fungsi penglihatan, efisiensi penglihatan, evaluasi penggunaan alat bantu penglihatan.
2.    Intelegensi/kepribadian meliputi perkembangan kognitif dan fungsi intelektual
3.    Ketrampilan sensori/motorik meliputi perkembangan motorik kasar dan halus, kemampuan perseptual
4.    Ketrampilan akademik/perkembangan konsep meliputi prestasi baca tulis, mengeja dan matematika, perkembangan bahasa, ketrampilan mendengar dan menyimak, konsep (waktu, kualitas, posisi, arah, urutan dll), ketrampilan belajar
5.    Soasial/emosi/afektif meliputi kontrol perilaku, belajar sosial dan afektif, ketrampilan adaptif, rekreasi dan waktu luang. 

F.    Pendidikan anak Tunanetra
Kehilangan penglihatan menyebabkan anak tunanetra sulit dalam melakukan mobilitas, artinya sulit untuk bergerak dari satu tempat ketempat lainnya yang diinginkan . Oleh karena itu, perlu diberikan suatu keterampilan khusus , agar dapat melakukan mobilitas dengan cepat , tepat dan aman.
Adanya keterbatasaan tersebut diatas, menghambat anak tunanetra dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena selain membutuhkan layanan pendidikan umum sebagai mana halnya anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya.
Ada beberapa pendidikan khusus yang disediakan dan diperuntukkan bagi anak tunanetra, diantaranya sebagai berikut :
1.    SLB
SLB adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang meliputi: Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunanetra, yaitu sekolah yang hanya memberikan pelayanan pendidikan kepada anak tunanetra, dan Sekolah Dasar Luar Biasa, yaitu sekolah yang menyelenggarakan pendidikan khusus, dengan bermacam jenis kelainan yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
2.    Pendidikan terpadu
Pendidikan Terpadu ialah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal dalam satuan pendidikan yang bersangkutan di sekolah reguler (SD,SMP, SMA dan SMK) dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan (Kepmendikbud No. 002/U/1986). Dalam pendidikan terpadu ini harus disiapkan:
1)      Seorang guru Pembimbing Khusus (Guru PLB), dan
2)      Sebuah ruangan khusus yang dilengkapi dengan alat pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus. Ruangan khusus ini dibuat dengan tujuan apabila anak yang berkebutuhan khusus tersebut mengalami kesulitan di dalam kelas, maka ia dibawa ke ruang khusus untuk diberi pelayanan dan bimbingan oleh guru Pembimbing Khusus. Bimbingan ini dapat berupa bantuan untuk lebih memahami dan menguasai materi pelajaran, menggunakan alat bantu atau alat peraga, pengayaan agar ketika anak belajar di kelas bersama anak lainnya anak tunanetra sudah siap menerima materi pelajaran, dan rehabilitasi sosial bagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami kesulitan dalam bergaul dengan teman sebayanya.
3.  
           Guru kunjung.
Di dalam sistem Pendidikan Luar Biasa terdapat sebuah model pelayanan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus yaitu dengan model Guru Kunjung. Model guru kunjung ini dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus usia sekolah. Oleh karena sesuatu hal, anak tersebut  tidak dapat belajar di sekolah khusus atau sekolah lainnya, seperti tempat tinggal yang sulit dijangkau akibat dari kemampuan mobilitas yang terbatas, jarak sekolah dan rumah terlalu jauh, kondisi anak tunanetra yang tidak memungkinkan untuk berjalan, menderita penyakit yang berkepanjangan, dll.
Pelayanan pendidikan dengan model guru kunjung ini bisa dilaksanakan di beberapa tempat, seperti rumah anak tunanetra sendiri, sebuah tempat yang dapat menampung beberapa anak tunanetra, dan rumah sakit. Kurikulum yang digunakan pada model guru kunjung adalah kurikulum PLB, kemudian dikembangkan kepada program pendidikan individual yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing anak.
4.    Pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif adalah pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang memerlukan pendidikan khusus pada sekolah reguler dalam satu kesatuan yang sistemik. Berdasarkan Keputusan Mendikbud No. 0491/U/1992, anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus seperti tunanetra dapat belajar secara terpadu dengan anak sebaya lainnya dalam satu sistem pendidikan yang sama.
Layanan pendidikan di dalam pendidikan inklusif memperhatikan beberapa hal, yaitu  kebutuhan dan kemampuan siswa, satu sekolah untuk semua, tempat pembelajaran yang sama bagi semua siswa, pembelajaran didasarkan kepada hasil assessment, tersedianya aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan siswa, sehingga siswa merasa aman dan nyaman, dan lingkungan kelas yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Sementara untuk kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.

G.   Pendidikan di SD biasa
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melyani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus tau guru kelas pada kelas khusus.
Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut adalah:
a.      Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.
Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anakcberkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini  tidak berbeda dengan yang digunakan dalam sekolah umum. Tetapi, untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya, untuk anak tuna netra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan dengan kondisi anak.
b.    Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus, belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak noormal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tuna netra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.

c.    Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan,  metode, dan cara penilaian yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
Melalui sistem integrasi/terpadu, anak tunanetra belajar bersama-sama dengan anak normal (awas) dengan memperoleh hak kewajiban  yang sederajat. Sekolah dasar atau sekolah biasa lainnya yang menerima anak tunanetra (anak luar biasa pada umumnya) sebagai siswanya, disebut sekolah terpadu. Apabila disekolah tersebut tidak terdapat bagi anak luar biasa maka secara otomatis sebutan sekolah terpadu tidak berlaku lagi (kembali disebut sekolah dasar atau sekolah biasa lainnya). Melalui sistem pendidikan terpadu, anak tunanetra akan memperoleh keuntungan berikut:
a.    Memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan bersama-sama dengan anak awas lainnya.
b.    Kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi lingkungan dengan membiasakan diri berinteraksi dengan teman-temannya yang awas.

 

BAB III
PEMBAHASAN

A.   PELAYANAN BAGI ANAK TUNANETRA
Layanan pendidikan bagi anak tunanetra pada dasarnya sama dengan layanan pendidikan bagi anak awas hanya dalam teknik penyampaiannya disesuaikan dengan kemampuan dan ketidak mampuan atau karakteristik anak tunanetra.
a.    Ciri Khas Layanan dan Bimbingan
Hal-hal yang khas dalam pendidikan anak tunanetra adalah berikut ini:
1.    Penempatan anak tunanetra
Dalam menempatkan anak tunanetra, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
a)    Anak tunanetra ditempatkan didepan, agar dapat mendengarkan penjelasan guru dengan jelas.
b)    Memberikan kesempatan kepada anak tunanetra untuk memiliki tempat duduk yang sesuai dengan kemampuan penglihatannya
c)    Anak tunanetra hendaknya ditempatkan berdekatan dengan anak yang relatif cerdas, agar terjadi proses saling membantu.
d)    Tidak diperkenankan dua anak tunanetra duduk berdekatan, agar lebih terintegrasi dengan anak awas.
2.    Alat peraga yang digunakan hendaknya memiliki warna yang kontras. Pada alat peraga bahan cetakan, antara tulisan dan warna dasar kertas harus kontras.
3.    Ruang belajar bagi anak tunanetra terutama anak low vision cukup mendapatkan cahaya/penerangan.
b.    Program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang berkaitan dengan kebutuhan interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan guru dalam bentuk:
a)    Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari sisi fisik bangunan maupun dari sisi interaksi orang per-orang.
b)    Menumbuhkembangkan perasaan nyaman, aman, dan senang dalam lingkungan barunya.
c)    Melatih kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi sebagai bekal pemahaman kognitif, afektif dan psikomotornya.
d)    Melatih keberanian anak tunanetra untuk mengenal hal-hal baru, terutama hal-hal yang tidak ia temui ketika berada di rumah.
e)    Menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian dalam berkomunikasi dan melakukan kontak.
f)     Melatih mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-kontak sosial yang akan dilakukan dengan teman sebaya.
g)    Memberikan pendidikan etika dan kesantunan berkaitan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam suatu daerah.Pendidikan etika yang berlaku di rumah dapat berbeda ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian individu.
h)    Mengenalkan anak tunanetra dalam beragam karakter interaksi kelompok. Hal ini dapat memberikan pemahaman bahwa tiap kelompok memiliki karakter interaksi yang berbeda. Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang dewasa.

B.   HAL-HAL YANG HARUS DILAKUKAN
Hal-hal yang harus dilakukan guru adalah membuat berbagai macam strategi guna menghadapi anak tunanetra. Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran tersebut berjalan dengan efektif dan efisien.
Dalam proses pembelajaran, dapat digunakan berbagai macam strategi pembelajaran yang didasarkan pada pertimbangan tertentu, antara lain berikut ini:
a.   Berdasarkan pertimbangan pengolahan pesan terdapat dua macam strategi pembelajaran, yaitu deduktif dan induktif.
b.   Berdasarkan pihak pengolah pesan, terdapat dua strategi pembelajaran, yaitu ekspositorik dan heuristik.
c.   Berdasarkan pertimbangan pengaturan guru, ada 2 macam strategi, yaitu strategi pembelajaran dengan seorang guru dan beregu (team teaching).
d.   Berdasarkan pertimbangan jumlah siswa, terdapat strategi pembelajaran klasikal, kelompok kecil, dan individual.
e.   Berdasarkan interaksi guru dan siswa, terdapat strategi pembelajaran tatap muka, dan melalui media.
Di samping strategi yang telah dijelaskan diatas, ada strategi lain yang dapat diterapkan dalam pembelajaran anak tunanetra, yaitu:
a.   Strategi individualisasi
b.   Kooperatif
c.   Modifikasi perilaku
Permasalahan dalam strategi pembelajaran anak tunanetra adalah bagaimana upaya guru dalam melakukan penyesuaian (modifikasi) terhadap semua komponen dalam proses pembelajaran sehingga pesan maupun pengalaman pembelajaran menjadi sesuatu yang dapat diterima/ditangkap oleh anak tunanetra melalui indera-indera yang masih berfungsi, yaitu indera pendengaran, perabaan, pengecapan, serta sisa penglihatan (bagi anak low vision).
Permasalahan lainnya adalah bagaimana guru membiasakan dan melatih indera yang masih berfungsi pada anak tunanetra agar lebih peka dalam menangkap pesan pembelajaran. Agar lebih mudah melakukan modifikasi dalam strategi pembelajaran anak tunanetra, guru harus memahami prinsip-prinsip dasar dalam pembelajaran anak tunanetra, yaitu sebagai berikut.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :
1.    Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Pada siswa yang mengalami ketunanetraan harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program – IEP).
2.    Prinsip kekonkritan/pengalaman penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan.
3.    Prinsip totalitas                            
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek.
4.    Prinsip aktivitas mandiri (selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.
5.    Pola Pembelajaran
Permasalahan pembelajaran dalam pendidikan tunanetra adalah masalah penyesuaian. Penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran pada anak tunanetra lebih banyak berorientasi pada pendidikan umum, terutama menyangkut tujuan dan muatan kurikulum. Dalam strategi pembelajaran, tugas guru adalah mencermati setiap bagian dari kurikulum, mana yang bisa disampaikan secara utuh tanpa harus mengalami perubahan, mana yang harus dimodifikasi, dan mana yang harus dihilangkan sama sekali.
Untuk membantu kelancaran proses pembelajaran maka harus mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana sebagai penunjang pembelajaran. Alat pendidikan bagi tunanetra dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu alat pendidikan khusus, alat bantu dan alat peraga.
a.    Alat pendidikan khusus anak tunanetra antara lain:
1.    Reglet dan pena atau stilus
2.    Mesin tik Braille
3.    Komputer dengan program Braille
4.    Printer Braille
5.    Abacus
6.    Calculator bicara
7.    Kertas braille
8.    Penggaris Braille
9.    Kompas bicara
10.  Tongkat putih
11.  Tongkat Laser (Laser Cane)
12.  Sonic Guide (Penuntun Bersuara).
b.    Alat Peraga. Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran. Alat peraga tersebut antara lain:
1.    benda asli : makanan, minuman, binatang peliharaan
2.    benda asli yang diawetkan : binatang liar/buas atau yang sulit di dapatkan
3.    benda asli yang dikeringkan
4.    benda/model tiruan; model kerangka manusia, model alat pernafasan.
Fasilitas penunjang pendidikan untuk anak tunanetra secara umum sama dengan anak normal, hanya memerlukan penyesuaian untuk informasi yang memungkinkan tidak dapat dilihat, harus disampaikan dengan media perabaan atau pendengaran. Fasilitas fisik yang berkaitan dengan gedung, seharusnyajumlah parit yang sedikit dan variasi tinggi rendah lantainya, menghindari dinding yang mempunyai sudut lancip dan keras. Perabot sekolah sedapat mungkin memiliki sudut yang tumpul.
Fasilitas penunjang pendidikan yang diperlukan anak tunanetra adalah Braille dan peralatan orientasi dan mobilitas, serta media pelajaran yang memungkinkan anak untuk memanfaatkan fungsi peraba dengan optimal.

C.   KENDALA YANG DIHADAPI
Kendala yang dihadapi oleh guru dalam memberikan layanan bagi penyandang tunanetra adalah :
1.    Latar belakang  guru SD biasa bukan dari bidang khusus  yang menangani ABK
2.    Sarana dan prasarana dalam mendukung keterlayanan tuna netra tidak tercukupi
3.    Penyusunan kurikulum di SD  biasa tidak sesuai dengan kebutuhan tunanetra
4.    Lingkungan sosial kurang menerima keberadaan tunanetra

D.   EVALUASI TERHADAP ANAK TUNANETRA
Evaluasi terhadap pencapaian hasil belajar pada anak tunanetra, pada dasarnya sama dengan yang dilakukan terhadap anak awas, namun ada sedikit perbedaan yang menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes. Materi tes atau pertanyaan yang diberikan kepada anak tunanetra, tidak mengandung unsur-unsur yang memerlukan persepsi visual. Contohnya anda tidak dapat menanyakan tentang warna kepada anak tunanetra karena warna hanya dapat diperoleh melalui persepsi visual.
Soal yang diberikan kepada anak tunanetra yang tergolong buta, hendaknya dalam bentuk huruf braille, sedangkan bagi anak low vision dapat menggunakan huruf biasa yang ukurannya disesuaikan dengan kemampuan penglihatannya. Harus bersifat objektif dalam mengevaluasi pencapaian prestasi belajar anak tunanetra atau memberikan penilaian yang sesuai dengan kemampuan. Waktu pelaksanaan tes bagi anak tunanetra, hendaknya lebih lama dibandingkan dengan pelaksanaan tes untuk anak awas.



BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.   KESIMPULAN
Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kacamata (kurang awas).
Komponen yang dapat dilakukan asesmen pada anak tunanetra meliputi beberapa hal dari fungsi penglihatan yaitu pemeriksaan kesehatan oleh omtalmolog atau optometris, fungsi penglihatan, efisiensi penglihatan, dan evaluasi penggunaan alat bantu penglihatan.
Adapun pelayanan pendidikan khusus yang disediakan untik melayani penyandang tunanetra yaitu SLB, pendidikan terbadu, guru kunjung, dan pendidikan inklusif.

B.   SARAN
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk penanganan tunanetra:
1.    Tunanetra membutuhkan bimbingan orangtua dan guru
2.    Tunanetra perlu diberi motivasi dari semua pihak dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
3.    Untuk kasus yang dihadapi Bunga, hendaknya guru memperhatikan posisi tempat duduk Bunga ketika pembelajaran, dan segera mengkomunikasikan keadaan yang dialami bunga kepada orangtuanya sehingga ada tindak lanjut.




DAFTAR PUSTAKA
Somantri, Sutjihati. (2012). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama.
Humairo Noer. (2013). Makalah Tunanetra, [Online]. Tersedia: http://www.academia.edu. [05 Maret 2015].
Riyanti Widi. (2013). Karakteristik dan Pendidikan Tunanetra, [Online]. Tersedia: http://www.academia.edu. [05Maret 2015].
Adriana. (2013). Layanan Pendidikan Bagi Anak Dengan Ganggyan Tunanetra, [Online]. Tersedia: http://www.academia.edu. [06 Maret 2015].
Sumiyati Yeti. (2014). Makalah Bimbingan dan Pendidikan Anak Tunanetra, [Online]. Tersedia: http://www.academia.edu. [06 Maret 2015].














 
MAKALAH
PENDIDIKAN ANAK TUNANETRA DI SD BIASA
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Yang dibimbing oleh :
IBU PRATIWI. N, S.Psi, M.A








Disusun oleh :
Aning Promanti (836870376)
Dima Prihatinie (836909031)
Fahrida Nuraeni (836874248)
Nur Rohimah (836865754)
Resti Wulandari (836868427)
Sumartini (836866566)



UNIVERSITAS TERBUKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIT PROGRAM BELAJAR JARAK JAUH
YOGYAKARTA
2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pisang goreng vanili harum dan krispi

Pisang goreng vanili yang harum dan krispi siapa yang tidak suka dengan olahan pisang? sepertinya semuanya bakal suka resep pisang goreng...