Kehilangan
penglihatan menyebabkan anak tunanetra sulit dalam melakukan mobilitas, artinya
sulit untuk bergerak dari satu tempat ketempat lainnya yang diinginkan . Oleh
karena itu, perlu diberikan suatu keterampilan khusus , agar dapat melakukan
mobilitas dengan cepat , tepat dan aman.
Adanya keterbatasaan tersebut diatas, menghambat anak tunanetra dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena selain membutuhkan layanan pendidikan umum sebagai mana halnya anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya.
Adanya keterbatasaan tersebut diatas, menghambat anak tunanetra dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena selain membutuhkan layanan pendidikan umum sebagai mana halnya anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR
BELAKANG MASALAH
Banyak kasus
yang terjadi berkenaan dengan keberadaan anak berkebutuhan khusus di
sekolah-sekolah umum, termasuk di Sekolah Dasar (SD) yang perlu mendapatkan
perhatian dan layanan pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Sebagai salah satu contoh, kasus
yang dialami oleh Bunga, seorang anak perempuan berusia 9 tahun dan sedang
menempuh pendidikan SD kelas III.
Di sekolah, Bunga termasuk dalam siswa
perempuan yang unik dibandingkan dengan teman-temannya dikelas. Bunga paling tidak suka jika guru meminta untuk
menyalin kembali catatan yang ditulis dipapan, dia sering mengernyitkan dahi
setiap kali harus menyalin tulisan tersebut. Bunga lebih suka jika guru
memberikan catatan dengan cara dekte. Hal tersebut berulang kali terjadi ketika
pembelajaran sedang berlangsung. Setelah ditanya alasannya, ternyata bunga
mengatakan bahwa dia merasa tidak dapat melihat dengan jelas ketika harus
menyalin catatan dari papan tulis, terlebih lagi apabila dia duduk di bangku
paling belakang.
Contoh kasus yang dialami Bunga ,
dapat dikategorikan dalam tunanetra ringan (low vision), yaitu tunanetra yang
masih mempunyai sedikit sisa penglihatan sehingga mereka masih dapat
menggunakan sisa penglihatannya itu untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Untuk itu, layanan pendidikan untuk
tunanetra di SD biasa haruslah maksimal. Perlu adanya
pemahaman dan kreativitas seorang guru di sekolah dalam mengembangkan berbagai
model pembelajaran sesuai kebutuhan anak. Apabila guru telah memiliki
pengetahuan dan pemahaman mengenai cara memberikan layanan yang baik, maka ABK akan terlayani secara maksimal.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan kondisi di atas, penulis
merumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah penyandang tunanetra dapat terlayani
secara maksimal di SD biasa?”
1.3
TUJUAN
Untuk mengetahui apakah penyandang
tunanetra dapat terlayani secara maksimal di SD biasa.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian
Tunanetra
Dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat awam khususnya sering menganggap bahwa
istilah tunanetra sering disamakan dengan buta. Pandangan masyarakat tersebut
didasarkan pada suatu pemikiran yang umum yaitu bahwa setiap tunanetra tidak
dapat melihat sama sekali.
Secara
etimologis, kata tuna berarti luka, rusak, kurang atau tiada
memiliki; netra berarti mata atau penglihatan.
Jadi tunanetra berarti kondisi luka atau rusaknya mata,
sehingga mengakibatkan kurang atau tidak memiliki kemampuan persepsi
penglihatan. Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan bahwa istilah tunanetra
mengandung arti rusaknya penglihatan . Menurut
beberapa ahli, pengertian tunanetra adalah:
1. Frans Harsana Sasraningrat mengatakan bahwa
tunanetra ialah suatu kondisi dari indera penglihatan atau mata yang tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi itu disebabkan oleh karena kerusakan
pada mata, syaraf optik dan atau bagian otak yang mengolah stimulus visual .
2. Irham Hosni menegaskan bahwa seseorang dikatakan
tunanetra adalah orang yang kedua penglihatannya mengalami kelainan sedemikian
rupa dan setelah dikoreksi mengalami kesukaran dalam menggunakan matanya
sebagai saluran utama dalam menerima informasi dari lingkungannya.
3. Drs. Nurkholis menyatakan bahwa tunanetra adalah
kerusakan atau cacat mata yang mengakibatkan seseorang tidak dapat melihat atau
buta.
4. Persatuan Tunanetra Indonesia/Pertuni mendifinisikan
ketunanetraan sebagai berikut : Orang tunanetra adalah mereka yang tidak
memiliki sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa
penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan
biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan
kacamata (kurang awas). Yang dimaksud dengan 12 point adalah ukuran huruf
standar pada komputer di mana pada bidang selebar satu inch memuat 12 buah
huruf . Akan tetapi, ini tidak boleh diartikan bahwa huruf dengan ukuran 18
point, misalnya pada bidang selebar 1 inch memuat 18 huruf.
B. Klasifikasi
anak Tunanetra
Anak tunanetra adalah anak-anak yang mengalami
kelainan atau gangguan fungsi penglihatan, yang memiliki tingkatan atau
klasifikasi yang berbeda-beda. secara pedagogis membutuhkan layanan pendidikan
khusus dalam belajarnya di sekolah. Berdasarkan tingkatannya, dapat
diklasifikasi sebagai berikut:
1. Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
Seseorang yang dikatakan penglihatannya normal,
apabila hasil tes Snellen menunjukkan ketajaman penglihatannya 20/20 atau 6/6
meter. Klasifikasi
Tunanetra (visual impairment) berdasarkan kemampuan daya penglihatan .Penglihatan yang normal memiliki ketajaman
penglihatan 6/6 - 6/7,5 yaitu jika sesorang dapat melihat benda dengan
jelas pada jarak antara 6 sampai dengan 7,5 meter atau efisiensi penglihatan
sebesar 95% - 100%. Penglihatan dengan ketajaman 6/9 - 6/21 masih tergolong
kepada penglihatan hampir normal yaitu jika orang normal dapat melihat benda
dengan jelas sejauh 9 sampai dengan 21 meter maka perbandingannya dengan orang
dengan penglihatan hampir normal adalah sejauh 6 meter atau efisiensi
penglihatan sebesar 75% - 90%. Maka klasifikasi Tunanetra (visual impairment)
berdasarkan kemempuan daya penglihatan adalah sebagai berikut :
a. Low Vision; yakni mereka yang memiliki hambatan
dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program
pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi
penglihatan. Low Vision dikelompokkan menjadi :
1) Low Vision sedang, memiliki ciri-ciri:
-
Masih
mungkin orientasi dan mobilitas umum.
-
Mendapat
kesukaran berlalu lintas dan melihat nomor mobil.
-
Membaca
perlu memakai lensa kuat dan membaca menjadi lambat.
2) Low Vision nyata, memiliki ciri-ciri:
-
Gangguan
masalah orientasi dan mobilitas.
-
Perlu
tongkat putih untuk berjalan.
-
Umumnya
memerlukan sarana baca dengan huruf Braille, radio dan pustaka kaset.
b. Tunanetra setengah berat/hampir buta (partially
sighted),yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya
dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu
membaca tulisan yang bercetak tebal, memiliki ciri-ciri:
-
Penglihatan
menghitung jari kurang empat kaki.
-
Penglihatan
tidak bermanfaat bagi orientasi mobilitas.
-
Harus
memakai alat non visual.
c. Tunanetra berat/buta total (totally blind),
yakni mereka yang sama sekali tidak melihat,memiliki ciri-ciri:
-
Tidak
mengenal adanya rangsangan sinar.
-
Seluruhnya
tergantung pada alat indera selain mata.
2. Berdasarkan Adaptasi Pedagogis
Kirk, SA
(1989) mengklasifikasikan penyandang tunanetra berdasarkan kemampuan
penyesuaiannya dalam pemberian layanan pendidikan khusus yang diperlukan.
Klasifikasi dimaksud adalah:
a. Kemampuan melihat sedang (moderate visual
disability). Dimana pada taraf ini mereka masih dapat melaksanakan
tugas-tugas visual yang dilakukan orang awas dengan menggunakan alat bantu
khusus serta dengan bantuan cahaya yang cukup.
b. Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual
disability). Pada taraf ini, mereka memiliki penglihatan yang kurang baik,
atau kurang akurat meskipun dengan menggunakan alat Bantu visual dan
modifikasi, sehingga mereka membutuhkan banyak dan tenaga dalam mengerjakan
tugas-tugas visual.
c. Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound
visual disability). Pada taraf ini mereka mengalami kesulitan dalam
melakukan tugas-tugas visual, dan tidak dapat melakukan tugas-tugas visual yang
lebih detail seperti membaca dan menulis. Untuk itu mereka sudah tidak dapat
memanfaatkan penglihatannya dalam pendidikan, dan mengandalkan indra perabaan
dan pendengaran dalam menempuh pendidikan.
3. Berdasarkan
Waktu Terjadinya Ketunanetraan
Menurut Lowenfeld, (1955:p.219),
klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan,
yaitu :
a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka
yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
b. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil;
mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan
mudah terlupakan.
c. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja;
mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang
mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
d. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka
yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
e. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah
sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
f. Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)
4. Berdasarkan
kelainan-kelainan yang terjadi pada mata
Menurut Howard dan Orlansky,
klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan yang terjadi pada mata, yaitu :
Kelainan ini disebabkan karena
adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak
terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki
dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain:
a. Myopia; adalah
penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina.
Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses
penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa
negatif.
b. Hyperopia; adalah
penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina.
Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses
penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa
positif.
c. Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena
ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata
sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh
pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme
digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris
C. Karakteristik
anak Tunanetra
Beberapa
karakteristik anak-anak tunanetra adalah:
a. Segi Fisik
Secara fisik anak-anak tunanetra,
nampak sekali adanya kelainan pada organ penglihatan/mata
b. Segi Motorik
Hilangnya
pengalaman visual menyebabkan tunanetra kurang mampu melakukan orientasi
lingkungan. Sehingga tidak seperti anak-anak normal, anak tunanetra harus
belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan
dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.
c. Perilaku
Anak tunanetra sering menunjukkan
perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak semestinya
misalnya, sering menekan matanya, membuat suara dengan jarinya,
menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau berputar-putar.
d. Akademik
Keadaan ketunanetraan berpengaruh pada
perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis.
Tunanetra mempergunakan berbagai alternatif media atau alat untuk membaca dan
menulis, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin mempergunakan
huruf braille atau huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran. Dengan
asesmen dan pembelajaran yang sesuai, tunanetra dapat mengembangkan kemampuan
membaca dan menulisnya seperti teman-teman lainnya yang dapat melihat.
e. Pribadi dan Sosial
Mengingat tunanetra mempunyai
keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, maka anak
tunananetra sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang
benar.
D. Identifikasi anak Tunanetra
Peralatan/ Instrumen dan perlengkapan identifikasi dan
asesmen anak tunanetra. Pada waktu melaksanakan identifikasi dan asesmen
terhadap anak tunanetra, diperlukan berbagai jenis peralatan/ instrumen dan
perlengkapan, antara lain adalah :
a. Alat-alat tes misalnya, kartu snellen, tes funnel, tes
kartu gambar allen, dll
b. Perlengkapan tes, misalnya : senter, lampu,
macam-macam lensa, ruangan dan segala perabotan yang dibutuhkan.
c. Pedoman observasi dan wawancara
d. Daftar pertanyaan
e. Instrumen perekam data, kertas, alat tulis, kamera,
komputer, dll.
Dalam melakukan identifikasi dan asesmen terhadap anak
tunanetra perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Sambutlah anak tunanetra dan adakan kontak fisik yang
sesuai dengan kondisi dan usia anak.
b. Gambarkan keadaan ruangan, jika anak belum pernah
mengenal
c. Bimbinglah anak ke meja dan kursi yang akan digunakan
untuk melakukan asesmen
d. Posisikan anak untuk menjaga kenyamanan
e. Berikan tambahan waktu untuk kontak termasuk stimulasi
bagi anak yang kurang responsif
f. Jelaskan apa yang akan diperbuat
g. Bantu anak melalui tuntunan tugas agar anak dapat
segera memahami.
h. Sediakan petunjuk verbal dan tactual untuk menirukan
tindakan badan pada waktu diasesmen
i. Berikan tambahan suara dalam tugas-tugas tersebut
j. Pada kesimpulan asesmen ucapkan terima kasih pada anak tersebut, dan berikan pesan.
E. Asesmen anak
Tunanetra
Istilah
asesmen dapat diartikan sebagai proses mempertanyakan hal-hal yang berkaitan
dengan kegiatan belajar siswa sebagai dasar agar pengajaran yang diberikan
tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Tujuan dari dilaksanakannya asesmen yaitu :
1. Agar guru mendapat informasi tentang keberhasilan dan
kegagalan mengajar serta kemajuan dan kesulitan belajar siswa.
2. Agar guru dapat memiih dan menentukan program,
evaluasi dan strategi belajar mengajar, serta pengaturan lingkungan belajar.
3. Agar guru dapat melakukan diagnosis dan memberikan
tindak lanjut pengajaran.
Komponen yang dapat dilakukan
asesmen pada anak tunanetra meliputi beberapa hal dari fungsi penglihatan
hingga ketrampilan tertentu yang berkaitan dengan dampak kerusakan penglihatan
antara lain :
1. Penglihatan meliputi pemeriksaan kesehatan oleh
omtalmolog atau optometris, fungsi penglihatan, efisiensi penglihatan, evaluasi
penggunaan alat bantu penglihatan.
2. Intelegensi/kepribadian meliputi perkembangan kognitif
dan fungsi intelektual
3. Ketrampilan sensori/motorik meliputi perkembangan
motorik kasar dan halus, kemampuan perseptual
4. Ketrampilan akademik/perkembangan konsep meliputi
prestasi baca tulis, mengeja dan matematika, perkembangan bahasa, ketrampilan
mendengar dan menyimak, konsep (waktu, kualitas, posisi, arah, urutan dll), ketrampilan
belajar
5. Soasial/emosi/afektif meliputi kontrol perilaku,
belajar sosial dan afektif, ketrampilan adaptif, rekreasi dan waktu luang.
F. Pendidikan
anak Tunanetra
Kehilangan
penglihatan menyebabkan anak tunanetra sulit dalam melakukan mobilitas, artinya
sulit untuk bergerak dari satu tempat ketempat lainnya yang diinginkan . Oleh
karena itu, perlu diberikan suatu keterampilan khusus , agar dapat melakukan
mobilitas dengan cepat , tepat dan aman.
Adanya keterbatasaan tersebut diatas, menghambat anak tunanetra dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena selain membutuhkan layanan pendidikan umum sebagai mana halnya anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya.
Adanya keterbatasaan tersebut diatas, menghambat anak tunanetra dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena selain membutuhkan layanan pendidikan umum sebagai mana halnya anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya.
Ada
beberapa pendidikan khusus yang disediakan dan diperuntukkan bagi anak
tunanetra, diantaranya sebagai berikut :
1. SLB
SLB adalah lembaga pendidikan yang
menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang
meliputi: Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunanetra, yaitu sekolah yang hanya
memberikan pelayanan pendidikan kepada anak tunanetra, dan Sekolah Dasar Luar
Biasa, yaitu sekolah yang menyelenggarakan pendidikan khusus, dengan bermacam
jenis kelainan yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
2.
Pendidikan
terpadu
Pendidikan
Terpadu ialah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak yang
berkebutuhan khusus yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal dalam
satuan pendidikan yang bersangkutan di sekolah reguler (SD,SMP, SMA dan SMK)
dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang
bersangkutan (Kepmendikbud No. 002/U/1986). Dalam pendidikan terpadu ini harus
disiapkan:
1)
Seorang guru Pembimbing Khusus (Guru PLB), dan
2)
Sebuah ruangan khusus yang dilengkapi dengan alat pendidikan bagi anak yang
berkebutuhan khusus. Ruangan khusus ini dibuat dengan tujuan apabila anak yang
berkebutuhan khusus tersebut mengalami kesulitan di dalam kelas, maka ia dibawa
ke ruang khusus untuk diberi pelayanan dan bimbingan oleh guru Pembimbing
Khusus. Bimbingan ini dapat berupa bantuan untuk lebih memahami dan menguasai
materi pelajaran, menggunakan alat bantu atau alat peraga, pengayaan agar
ketika anak belajar di kelas bersama anak lainnya anak tunanetra sudah siap
menerima materi pelajaran, dan rehabilitasi sosial bagi anak berkebutuhan
khusus yang mengalami kesulitan dalam bergaul dengan teman sebayanya.
3.
Guru kunjung.
Di dalam
sistem Pendidikan Luar Biasa terdapat sebuah model pelayanan pendidikan bagi
anak yang berkebutuhan khusus yaitu dengan model Guru Kunjung. Model guru
kunjung ini dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak yang
berkebutuhan khusus usia sekolah. Oleh karena sesuatu hal, anak tersebut
tidak dapat belajar di sekolah khusus atau sekolah lainnya, seperti
tempat tinggal yang sulit dijangkau akibat dari kemampuan mobilitas yang
terbatas, jarak sekolah dan rumah terlalu jauh, kondisi anak tunanetra yang
tidak memungkinkan untuk berjalan, menderita penyakit yang berkepanjangan, dll.
Pelayanan
pendidikan dengan model guru kunjung ini bisa dilaksanakan di beberapa tempat,
seperti rumah anak tunanetra sendiri, sebuah tempat yang dapat menampung
beberapa anak tunanetra, dan rumah sakit. Kurikulum yang digunakan pada model
guru kunjung adalah kurikulum PLB, kemudian dikembangkan kepada program
pendidikan individual yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan
masing-masing anak.
4.
Pendidikan
inklusif
Pendidikan
inklusif adalah pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang
memerlukan pendidikan khusus pada sekolah reguler dalam satu kesatuan yang
sistemik. Berdasarkan Keputusan Mendikbud No. 0491/U/1992, anak-anak yang
memiliki kebutuhan khusus seperti tunanetra dapat belajar secara terpadu dengan
anak sebaya lainnya dalam satu sistem pendidikan yang sama.
Layanan
pendidikan di dalam pendidikan inklusif memperhatikan beberapa hal, yaitu
kebutuhan dan kemampuan siswa, satu sekolah untuk semua, tempat
pembelajaran yang sama bagi semua siswa, pembelajaran didasarkan kepada hasil assessment,
tersedianya aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan siswa, sehingga siswa
merasa aman dan nyaman, dan lingkungan kelas yang disesuaikan dengan kebutuhan
siswa. Sementara untuk kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang fleksibel,
disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
G. Pendidikan
di SD biasa
Bentuk
layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan
anak normal belajar dalam satu atap.Sistem pendidikan integrasi disebut juga
sistem pendidikan terpadu yakni sistem pendidikan yang membawa anak
berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan
tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, keterpaduan dalam rangka
sosialisasi.
Pada sistem
keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam
satu kelas maksimal 10% dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu
kelas hanya satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak
terlalu berat, dibanding jika guru harus melyani berbagai macam kelainan.
Untuk
membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah
terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai
konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu
sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan
khusus tau guru kelas pada kelas khusus.
Ada 3 bentuk
keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut
Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut adalah:
a. Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini, anak
berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan
kurikulum biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan
penuh.
Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya
berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi,
atau orang tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing
khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum, maupun permasalahan dalam
mengajar anakcberkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang
konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian
yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan
dalam sekolah umum. Tetapi, untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan
dengan ketunaan anak. Misalnya, untuk anak tuna netra untuk pelajaran
menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan dengan kondisi anak.
b. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak
berkebutuhan khusus, belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa
serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat
diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak noormal. Pelayanan
khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus
(GPK) dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai.
Untuk keperluan tersebut di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan
khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tuna
netra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan
orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan
sebagian.
c. Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus
mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus
pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini
disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat
sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi
sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara
penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian
yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan
sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan
yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi
pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
Melalui sistem
integrasi/terpadu, anak tunanetra belajar bersama-sama dengan anak normal
(awas) dengan memperoleh hak kewajiban
yang sederajat. Sekolah dasar atau sekolah biasa lainnya yang menerima
anak tunanetra (anak luar biasa pada umumnya) sebagai siswanya, disebut sekolah
terpadu. Apabila disekolah tersebut tidak terdapat bagi anak luar biasa maka
secara otomatis sebutan sekolah terpadu tidak berlaku lagi (kembali disebut
sekolah dasar atau sekolah biasa lainnya). Melalui sistem pendidikan terpadu,
anak tunanetra akan memperoleh keuntungan berikut:
a.
Memperoleh
kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan bersama-sama dengan
anak awas lainnya.
b.
Kesempatan
yang seluas-luasnya untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi lingkungan dengan
membiasakan diri berinteraksi dengan teman-temannya yang awas.
BAB III
PEMBAHASAN
A. PELAYANAN
BAGI ANAK TUNANETRA
Layanan
pendidikan bagi anak tunanetra pada dasarnya sama dengan layanan pendidikan
bagi anak awas hanya dalam teknik penyampaiannya disesuaikan dengan kemampuan
dan ketidak mampuan atau karakteristik anak tunanetra.
a.
Ciri Khas Layanan dan Bimbingan
Hal-hal yang khas dalam pendidikan
anak tunanetra adalah berikut ini:
1.
Penempatan
anak tunanetra
Dalam
menempatkan anak tunanetra, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
a)
Anak
tunanetra ditempatkan didepan, agar dapat mendengarkan penjelasan guru dengan
jelas.
b)
Memberikan
kesempatan kepada anak tunanetra untuk memiliki tempat duduk yang sesuai dengan
kemampuan penglihatannya
c)
Anak
tunanetra hendaknya ditempatkan berdekatan dengan anak yang relatif cerdas,
agar terjadi proses saling membantu.
d)
Tidak
diperkenankan dua anak tunanetra duduk berdekatan, agar lebih terintegrasi
dengan anak awas.
2.
Alat
peraga yang digunakan hendaknya memiliki warna yang kontras. Pada alat peraga
bahan cetakan, antara tulisan dan warna dasar kertas harus kontras.
3.
Ruang
belajar bagi anak tunanetra terutama anak low
vision cukup mendapatkan cahaya/penerangan.
b.
Program
bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang berkaitan dengan kebutuhan
interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan guru dalam bentuk:
a)
Bimbingan
untuk mengenal situasi sekolah, baik dari sisi fisik bangunan maupun dari sisi
interaksi orang per-orang.
b)
Menumbuhkembangkan
perasaan nyaman, aman, dan senang dalam lingkungan barunya.
c)
Melatih
kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi sebagai bekal pemahaman
kognitif, afektif dan psikomotornya.
d)
Melatih
keberanian anak tunanetra untuk mengenal hal-hal baru, terutama hal-hal yang
tidak ia temui ketika berada di rumah.
e)
Menumbuhkan
kepercayaan diri dan kemandirian dalam berkomunikasi dan melakukan kontak.
f)
Melatih
mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-kontak sosial yang akan dilakukan
dengan teman sebaya.
g)
Memberikan
pendidikan etika dan kesantunan berkaitan dengan adat dan kebiasaan yang
berlaku dalam suatu daerah.Pendidikan etika yang berlaku di rumah dapat berbeda
ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian individu.
h)
Mengenalkan
anak tunanetra dalam beragam karakter interaksi kelompok. Hal ini dapat
memberikan pemahaman bahwa tiap kelompok memiliki karakter interaksi yang berbeda.
Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang dewasa.
B. HAL-HAL YANG HARUS DILAKUKAN
Hal-hal
yang harus dilakukan guru adalah membuat berbagai macam strategi guna
menghadapi anak tunanetra. Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah
pendayagunaan secara tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam
proses pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode,
siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran
tersebut berjalan dengan efektif dan efisien.
Dalam
proses pembelajaran, dapat digunakan berbagai macam strategi pembelajaran yang
didasarkan pada pertimbangan tertentu, antara lain berikut ini:
a.
Berdasarkan
pertimbangan pengolahan pesan terdapat dua macam strategi pembelajaran, yaitu
deduktif dan induktif.
b.
Berdasarkan
pihak pengolah pesan, terdapat dua strategi pembelajaran, yaitu ekspositorik
dan heuristik.
c.
Berdasarkan
pertimbangan pengaturan guru, ada 2 macam strategi, yaitu strategi pembelajaran
dengan seorang guru dan beregu (team teaching).
d.
Berdasarkan
pertimbangan jumlah siswa, terdapat strategi pembelajaran klasikal, kelompok
kecil, dan individual.
e.
Berdasarkan
interaksi guru dan siswa, terdapat strategi pembelajaran tatap muka, dan
melalui media.
Di samping
strategi yang telah dijelaskan diatas, ada strategi lain yang dapat diterapkan
dalam pembelajaran anak tunanetra, yaitu:
a.
Strategi
individualisasi
b.
Kooperatif
c.
Modifikasi
perilaku
Permasalahan
dalam strategi pembelajaran anak tunanetra adalah bagaimana upaya guru dalam
melakukan penyesuaian (modifikasi) terhadap semua komponen dalam proses
pembelajaran sehingga pesan maupun pengalaman pembelajaran menjadi sesuatu yang
dapat diterima/ditangkap oleh anak tunanetra melalui indera-indera yang masih
berfungsi, yaitu indera pendengaran, perabaan, pengecapan, serta sisa penglihatan
(bagi anak low vision).
Permasalahan
lainnya adalah bagaimana guru membiasakan dan melatih indera yang masih
berfungsi pada anak tunanetra agar lebih peka dalam menangkap pesan
pembelajaran. Agar lebih mudah melakukan modifikasi dalam strategi pembelajaran
anak tunanetra, guru harus memahami prinsip-prinsip dasar dalam pembelajaran
anak tunanetra, yaitu sebagai berikut.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan, antara lain :
1. Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB
maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya
perbedaan-perbedaan individu. Pada siswa yang mengalami ketunanetraan harus ada
beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang
buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya
guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak.
Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program – IEP).
2. Prinsip kekonkritan/pengalaman penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak
tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya.
Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek,
atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium,
mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low
vision. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan
lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia
alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan.
3.
Prinsip totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru
haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi
secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua
pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam
bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu
penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai
suatu objek.
4. Prinsip aktivitas mandiri (selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra
belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara
guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan
motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun
mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk
bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki
implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses
dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah
penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan
mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.
5. Pola Pembelajaran
Permasalahan pembelajaran dalam pendidikan tunanetra adalah masalah
penyesuaian. Penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran pada anak tunanetra
lebih banyak berorientasi pada pendidikan umum, terutama menyangkut tujuan dan
muatan kurikulum. Dalam strategi pembelajaran, tugas guru adalah mencermati
setiap bagian dari kurikulum, mana yang bisa disampaikan secara utuh tanpa
harus mengalami perubahan, mana yang harus dimodifikasi, dan mana yang harus
dihilangkan sama sekali.
Untuk membantu kelancaran proses pembelajaran maka
harus mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana sebagai penunjang
pembelajaran. Alat pendidikan bagi tunanetra dapat
dibagi menjadi tiga bagian yaitu alat pendidikan khusus, alat bantu dan alat peraga.
a. Alat pendidikan khusus anak tunanetra
antara lain:
1.
Reglet dan pena atau stilus
2.
Mesin tik Braille
3.
Komputer dengan program Braille
4.
Printer Braille
5.
Abacus
6.
Calculator bicara
7.
Kertas braille
8.
Penggaris Braille
9.
Kompas bicara
10. Tongkat putih
11. Tongkat Laser (Laser Cane)
12. Sonic Guide (Penuntun Bersuara).
b. Alat Peraga. Alat peraga tactual atau
audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran.
Alat peraga tersebut antara lain:
1. benda asli : makanan, minuman, binatang
peliharaan
2. benda asli yang diawetkan : binatang
liar/buas atau yang sulit di dapatkan
3. benda asli yang dikeringkan
4. benda/model tiruan; model kerangka
manusia, model alat pernafasan.
Fasilitas penunjang pendidikan untuk anak tunanetra secara umum sama dengan
anak normal, hanya memerlukan penyesuaian untuk informasi yang memungkinkan
tidak dapat dilihat, harus disampaikan dengan media perabaan atau pendengaran.
Fasilitas fisik yang berkaitan dengan gedung, seharusnyajumlah parit yang
sedikit dan variasi tinggi rendah lantainya, menghindari dinding yang mempunyai
sudut lancip dan keras. Perabot sekolah sedapat mungkin memiliki sudut yang
tumpul.
Fasilitas penunjang pendidikan yang diperlukan anak tunanetra adalah
Braille dan peralatan orientasi dan mobilitas, serta media pelajaran yang
memungkinkan anak untuk memanfaatkan fungsi peraba dengan optimal.
C. KENDALA YANG
DIHADAPI
Kendala yang
dihadapi oleh guru dalam memberikan layanan bagi penyandang tunanetra adalah :
1. Latar belakang
guru SD biasa bukan dari bidang khusus
yang menangani ABK
2. Sarana dan prasarana dalam mendukung keterlayanan tuna
netra tidak tercukupi
3. Penyusunan kurikulum di SD biasa tidak sesuai dengan kebutuhan tunanetra
4. Lingkungan sosial kurang menerima keberadaan tunanetra
D. EVALUASI
TERHADAP ANAK TUNANETRA
Evaluasi
terhadap pencapaian hasil belajar pada anak tunanetra, pada dasarnya sama
dengan yang dilakukan terhadap anak awas, namun ada sedikit perbedaan yang
menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes. Materi tes atau
pertanyaan yang diberikan kepada anak tunanetra, tidak mengandung unsur-unsur
yang memerlukan persepsi visual. Contohnya anda tidak dapat menanyakan tentang
warna kepada anak tunanetra karena warna hanya dapat diperoleh melalui persepsi
visual.
Soal
yang diberikan kepada anak tunanetra yang tergolong buta, hendaknya dalam
bentuk huruf braille, sedangkan bagi anak low vision dapat menggunakan huruf
biasa yang ukurannya disesuaikan dengan kemampuan penglihatannya. Harus
bersifat objektif dalam mengevaluasi pencapaian prestasi belajar anak tunanetra
atau memberikan penilaian yang sesuai dengan kemampuan. Waktu pelaksanaan tes
bagi anak tunanetra, hendaknya lebih lama dibandingkan dengan pelaksanaan tes
untuk anak awas.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali
(buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak
mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point
dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kacamata (kurang awas).
Komponen yang dapat dilakukan asesmen pada anak tunanetra meliputi beberapa
hal dari fungsi penglihatan yaitu pemeriksaan kesehatan oleh omtalmolog atau
optometris, fungsi penglihatan, efisiensi penglihatan, dan evaluasi penggunaan
alat bantu penglihatan.
Adapun
pelayanan pendidikan khusus yang disediakan untik melayani penyandang tunanetra
yaitu SLB, pendidikan terbadu, guru kunjung, dan pendidikan inklusif.
B. SARAN
Hal-hal
yang perlu diperhatikan untuk penanganan tunanetra:
1.
Tunanetra
membutuhkan bimbingan orangtua dan guru
2.
Tunanetra
perlu diberi motivasi dari semua pihak dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
3.
Untuk
kasus yang dihadapi Bunga, hendaknya guru memperhatikan posisi tempat duduk
Bunga ketika pembelajaran, dan segera mengkomunikasikan keadaan yang dialami
bunga kepada orangtuanya sehingga ada tindak lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Somantri,
Sutjihati. (2012). Psikologi Anak Luar
Biasa. Bandung: PT Refika Aditama.
Humairo
Noer. (2013). Makalah Tunanetra, [Online]. Tersedia: http://www.academia.edu.
[05 Maret 2015].
Riyanti
Widi. (2013). Karakteristik dan Pendidikan Tunanetra, [Online].
Tersedia: http://www.academia.edu. [05Maret 2015].
Adriana.
(2013). Layanan Pendidikan Bagi Anak Dengan Ganggyan Tunanetra,
[Online]. Tersedia: http://www.academia.edu. [06 Maret 2015].
Sumiyati
Yeti. (2014). Makalah Bimbingan dan Pendidikan Anak Tunanetra, [Online].
Tersedia: http://www.academia.edu. [06 Maret 2015].
MAKALAH
PENDIDIKAN ANAK TUNANETRA DI SD BIASA
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Yang
dibimbing oleh :
IBU PRATIWI.
N, S.Psi, M.A
Disusun oleh
:
Aning
Promanti (836870376)
Dima
Prihatinie (836909031)
Fahrida
Nuraeni (836874248)
Nur Rohimah
(836865754)
Resti
Wulandari (836868427)
Sumartini
(836866566)
UNIVERSITAS
TERBUKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIT
PROGRAM BELAJAR JARAK JAUH
YOGYAKARTA
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar